Selasa, 06 September 2016

Senja

salah satu alat ukur kesejahteraan saat ini adalah uang
Ia juga menjadi alat ukur tinggi rendahnya martabat seseorang
tak sedikit orang yang mendekatimu dimasa kau masih begitu akrab dengan lemari ajaib,
yang bisa mengabulkan permintaan sesuai tombol yang kamu tekan
tapi menjauh ketika setelah kau tak memiliki sisa angka dalam lemari itu.
gagasan besarmu tak kan laku jika kau belum menjadi hambanya
jika kau bersahabat atas dasar makhluk ini
persahabatanmu tak lebih lama dari kilatan halilintar saat hujan
tak lebih besar dari kutu cebol
dan hanya akan sekuat galih pohon bambu
makhluk ini penting
namun ingatlah, ia hanya alat
bukan tujuan
Tetapkan tujuanmu, pakailah alat ini
namun jangan engkau mengubah tujuanmu dikala kau tak memilikinya
mungkin
banyak orang yang akan meragukanmu
namun keyakinan akan dirimu sendiri jauh lebih penting
daripada ocehan makhluk-makhluk itu
Jika Tuhan mengizinkan
suatu saat kau akan tahu
betapa remehnya Dunia ini


Senja di masjid Insur!
06/09/2016
»»  READMORE...

Minggu, 19 Juni 2016

Tinta Dan Pena

Kala tinta tlah terpisah dari pena
Saat perasaan bertarung dengan logika
Dan sang waktupun berlalu begitu saja
Inginku menghentikanmu sejenak
Berhenti dan memintamu kembali
Kembali kedalam ruang tamu
Dalam diskusi kecil
Yang tlah mengawali semua cerita ini
Ya.... Semua...
Semua yang akan kutulis dengan pena
Namun...
Sang pena kini tlah terpisah dari tintanya
Tinta yang akan menggoreskan dahsyatnya makna cinta
Tinta yang akan mengajarkan arti sebuah kepercayaan
Tinta yang akan menggambarkan arti kejujuran
Dan tinta yang akan melukiskan arti kesetiaan

Suatu saat Pena dan Tinta akan bersatu
Untuk menuliskan catatan indah dalam lembar sejarah
Kuyakin itu...

tooricg
27 juni 2014
»»  READMORE...

Karena Untuk Indah Tak Harus Mewah

Tak terasa waktu terus berjalan, tanpa mempedulikan mereka yang selalu terkejar atau bahkan terlindas olehnya. Suka dan duka memang selalu menjadi penghias cerita dalam perjalanan hidup ini. Ia memang sudah menjadi warna dalam lukisan kehidupan. Lukisan adalah bahasa sastra dalam bentuk gambar, jika warna merupakan bagian dari sastra dalam gambar, begitupun suka dan duka dalam hidup ini. Tak semua yang kita mau sudah tersedia, dan bukan menjadi tugas manusia untuk tinggal hanya menikmati apa yang ada, tanpa meramu bahan-bahan yang sudah disediakan dalam hidup. Tugas kita sebagai seorang hewan yang berpikir adalah meramu  bahan-bahan yang ada hingga menjadi sebuah karya yang bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya.
                Jika kita pada suatu waktu berada dalam tugas untuk memberi warna ‘suka’ dalam hidup, tidak pantas terlalu bangga hingga melupakan bumi dimana kita berpijak, sang kulit yang telah membungkus kacang dan juga sang ibu yang telah memberikan air susunya. Tak pantas seekor siput lepas dari cangkangnya, karena kesempurnaan sang siput ada dalam kesatuan antara tubuh dan cangkangnya. Begitupun jika kita sedang bertugas untuk memberi warna ‘duka’, jangan menjadikan diri untuk berputus asa. Seolah tak ada lagi harapan untuk bergantung, seolah tak sesaatpun engkau berhak untuk mendapat kebahagiaan, itu hanyalah pikiran sempitmu saja. Duka, kegagalan, kesedihan, bukanlah diri anda, ia tak lain hanyalah sebuah peristiwa yang segera lenyap dimakan oleh sang waktu. Percayalah bahwa mentari pagi esok hari akan terbit dan membawa kebahagiaan untuk menyempurnakan ‘gambar kehidupan’ yang telah kita lukis.

#bersambung....
»»  READMORE...

Selasa, 17 Mei 2016

SUKA ATAU BENCI ?

Pagi ini aku berada di Perpustakaan kampus, sekedar untuk menghilangkan penat dan mencari  informasi terbaru. Justru yang kudapatkan malah membuat aku penat berlebih lagi. Sehari yang lalu aku menulis sebuah artikel. Artikel yang merupakan buah dari opiniku itu kukerjakan di sebuah musholla di timur Kampus Merah. Sendiri, tidak ada teman ketika aku menulis artikel itu. Cuma untuk beberapa saat aku memang bertemu dengan beberapa orang yang sempat mampir disana. Dilanjutkan diskusi menyangkut beberapa hal. Dalam tulisanku itu aku menceritakan bahwa ada kerinduan mendalam terhadap sebuah ruangan yang didalamnya sudah jarang sekali terjamah oleh sekelompok orang yang dulu sering kutemui. Betapa rindunya aku dengan mereka, karena ketika disana aku bertemu dan membicarakan sesuatu hal untuk beberapa langkah kedepan. Namun kini ruangan itu telah sepi tak seperti sebelumnya. Aku gambarkan saking sepinya dengan sebuah judul “Bahkan Jarum Jam Pun Enggan Hidup”.
Ba’da maghrib, setelah sholat maghrib, aku bergegas menuju tempat print, meminjam motor salah seorang teman. Dengan berbekal uang seadanya, aku mencetak beberapa lembar tugas pribadi dan juga artikel itu. Rencanaku artikel tersebut akan kupasang dalam ruangan yang semakin sepi itu. Print sudah selesai hingga kemudian aku langsung menuju ke ruangan itu dan kupasang pada mading itu. Lalu aku meninggalkannya untuk melakukan tugas pribadiku selanjutnya. Malam ini bersama teman angkatan dibawahku, Awan namanya berencana akan bertemu salah satu dosen Fisipol(meskipun aku bukan orang Fisip). Ada hal yang hendak aku diskusikan.
Dosen Fisip yang hendak kutemui ternyata sedang tidak berada dirumah. Beliau sedang ada acara keluarga, dan baru bisa bertemu di hari berikutnya. Kemudian aku menuju ke kontrakan bersama kawan-kawan untuk membahas beberapa hal terkait komitmen GIM. Diantaranya, ada diskusi rutin bersama mereka. Dengan komitmen bacaan yang sudah disetting sedemikian rupa. Selesai rapat dengan mereka akupun pergi ke kampus. Untuk membetulkan laptopku yang lagi sakit. Sebelumnya kusempatkan untuk mampir dulu di tempat yang kumaksud di awal tadi. Sedikit kaget setengah kecewa, tulisanku hilang entah kemana. Aku juga tak tahu, siapa yang sudah mengambilnya. Aku coba berhipotesa bahwa ada dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama, ada orang yang suka tulisanku kemudian mengambilnya. Untuk digunakan secara pribadi(ini jika dasar hipotesaku adalah khusnudzon, dan itu memang yang kulakukan). Yang kedua adalah ada orang yang kurang suka dengan tulisanku, kemudian mengambil dan mungkin di simpan atau dibuangnya. Tapi sepertinya, yang kedua inilah yang lebih kuat. Meskipun dalam hati aku tetap mecoba untuk memilih yang pertama sebagai solusi yang lebih positif.
Aku mencoba untuk sabar, langsung aku bersama kawanku menuju kampus hingga kurang lebih pukul 22:00. Selesai urusanku disana, aku kemudian kembali ketempat dimana artikelku berada. Dengan harapan jika ada orang yang telah mengambilnya sudi untuk mengembalikan. Betapa tidak menghargai karya seseorang jika dia telah berlaku sedemikian. Aku tidur ditempat itu untuk mengobati kerinduanku dengan ruangan itu hingga pagi. Namun tak seorang pun datang mengembalikan tulisanku. Teringat sebuah kata dalam buku yang pernah kubaca. Seorang terpelajar harus adil semenjak dalam fikiran, apalagi dalam tindakan. Sudah adilkah perilaku ini, atau mungkin aku yang kurang adil. Tapi tulisan tersebut tidak ditujukan kepada seseorang, melainkan bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kolektif kawan-kawan yang dulu sering datang ke ‘ruang itu’. Meskipun begitu, aku tidak seperti para pembenci yang selalu melihat dunia ini dengan kacamata benci. Jika hidup ini selalu diisi dengan benci, dengan derita karna kebencian. Itu adalah orang yang sakit.  Dan aku tidak mau menjadi orang sakit.
Hidup ini harus berani melihat realita. Jangan menjadi penakut untuk melihatnya. Untuk melihat saja kita takut, apalagi untuk menjalani? Tindakan yang sedemikian itu ada karena ada faktor, satu diantaranya adalah karena tidak berani melihat kenyataan yang ada. Hingga akhirna berusaha untuk menghilangkan realita dari kehidupan ini dengan bertindak sedemikian tak adil.
                                                                                
                                                                Perpustakaan, 17/05/2016
                                                                           Mas to’o
»»  READMORE...

Senin, 16 Mei 2016

Bahkan Jarum Jam pun Enggan Hidup

Oleh : mas to’o
Siang itu, udara begitu panas, hujan pun belum tampak ingin turun. Niat untuk pulang kuurungkan sebentar, hasrat untuk bertemu keluarga tercinta sejenak kuletakkan dalam tumpukan keinginan dalam hati. Aku berjalan menuju sebuah tempat. Tempat untuk persinggahan para kaum yang sedang haus ilmu, tak jarang pula helm dan sepatu pun ikut bermalam disana. Rasa rinduku biasa terobati karena singgah ditempat itu, bertemu dengan mereka yang sedang asyik bercengkrama. Entah masalah dunia kampus, hubungan antar teman, maupun masalah pribadi yang coba untuk dicarikan solusi.
Kupandangi sekilas dari kejauhan sembari berjalan menuju tempat itu. Motor yang biasa berderet bak pasukan yang hendak beretempur pun tak tampak. Kian mendekat akupun mencoba untuk menghibur diri, “ah biasanya ada beberapa orang didalam yang sedang mendiskusikan sesuatu, motor bukan jaminan keberadaan mereka.” Bisikku dalam hati. Hingga tiba langkah terakhir sampai depan pintu. Kudapati gembok besar dengan mata kunci berada di kolong pintu meminta untuk segera dijodohkan. Tak ada secuilpun manusia didalamnya. Tak selesai sampai disitu, aku masuk lalu kubuka pintu lebar-lebar. Hanya untuk sekedar memancing barangkali ada yang sudi mampir untuk sekedar say hallo. Menit pun tlah berganti dengan jam. Kesepian yang semakin menjadi itu tak terobati, jarum jam yang senantiasa mengiringi setiap detak jantungku pun tak terdengar sejak aku masuk tadi. Aku menoleh kearah sang penunjuk waktu itu, ia ternyata tlah tewas entah berapa lama. Kabar sakitnya pun sepertinya tak ada yang tau.
Lantai pun seolah berbicara kepadaku, ia tlah diselimuti debu untuk beberapa waktu lamanya, perlahan kusibak daun pintu. Biasa disitu kudapatkan sapu yang sudah mulai habis ujungnya,dulu. Tampaknya ia masih begitu setia berada disana, perlahan kucoba untuk sedikit menyisihkan apa yang ada diatas lantai untuk kubersihkan. Beberapa waktu lalu seringkali helm kudapatkan berjajar, bahkan untuk lewatpun tak ada ruang. Kemana gerangan helm-helm itu? Mungkin helm-helm itu sudah dijual oleh pemiliknya, untuk biaya kuliah yang kian hari kian mahal, hingga tak tersisa satupun disana. Lagi lagi aku memang harus menghibur diri.
Lemari berjajar penuh dengan benda-benda lama, buku-buku hampir dari seluruh fakutas ada, obat-obatan yang aku juga tidak tau obat untuk apa. Barangkali obat kuat, kuat mikir, kuat bekerja, kuat belajar dll yang bisa jadi sudah expired; serta beberapa kardus yang tertumpuk rapi diatas lemari, ia begitu tinggi-- hampir menyentuh plavon ruangan ini, perlu waktu sehari semalam untuk mencapai puncaknya, jika aku menjadi seekor semut. Aku tak tau apa isi kardus-kardus itu. Semua barang itu  makin hari makin tak tersentuh oleh tangan-tangan kreatif seorang terpelajar. Hingga terasa ruangan ini begitu sunyi ditengah hiruk-pikuk kesibukan kampus disiang ini. Kelambu jendela kusibakkan, cahaya pun mengisi ruangan, tapi tidak hatiku. Hati yang rindu akan kehadiran sekelompok manusia dengan beberapa gagasan yang akan diwujudkan. Yang biasanya sering kutemui diruangan ini. Tapi itu dulu, beberapa waktu lalu, tidak sekarang. Untuk sedikit mengisi kesunyian ini, kunyalakan Televisi yang duduk manis ditempatnya. Tombol on/off kutekan beberapa kali(karena biasanya memang begitu cara menyalakannya), tapi ia pun tak kunjung hidup. Ia memang sudah enggan hidup, karena di ruangan itu sebagian kawannya telah mati, tanpa nafas tanpa gerak. Ia kesepian tampaknya, kasian kau TV. Untuk menghilangkan rasa panas ini, aku pun mencoba untuk menyalakan kipas. Tapi hal yang sama kutemukan, ia juga telah memiliki gelar baru “Alm.”. Sayang sekali kau kipas, nasibmu tak ubahnya yang lain.
Timbul tanda tanya dalam hatiku, sudahkah ruangan ini beralih fungsi? Atau mungkin memang sudah ada larangan untuk memasukinya, hingga tak secuilpun manusia yang datang selama beberapa jam aku disini. Tapi tak ada kutemukan tulisan larangan itu.. Atau mungkin hari ini hari libur? Ah, bukan, hari ini hari efektif. Hari dimana sang mahasiswa biasa datang bergerombol bersama sahabat karibnya menuju kampus tercinta, Kampus Merah. Tanda tanya yang semakin lama semakin terkumpul didalam benak ini, pelan-pelan kujawab satu persatu. Tentu dengan jawaban yang benar dan tepat, menurut daya khayalku. Dan lagi, jawabanku itu hanya sekedar untuk menghibur diri, tak lebih.
Kasihan sekali aku hari ini, hanya ditemani oleh mayat-mayat yang sedang bergelimpangan tak terawat. Perlahan ruangan itu kutinggalkan. Kututup daun pintu pelan, dan....tak bisa. Aku harus menarik lebih keras hingga keluar suara yang hampir mirip dengan suara dobrakan pintu. Ya, aku harus sedikit memaksa untuk bisa menutup daun pintu itu dengan rapat. Ia telah menjadi saksi betapa banyak orang yang datang, dulu, beberapa waktu yang lalu. Hingga handle pintu itupun telah patah, dan tak karuan bangkainya kemana. Aku tak mampu lagi untuk menghibur diri, stok kata-kata untuk itu tlah habis dalam pikiranku, lagipula logikaku sudah tak sudi menerima hiburan semacam itu. Akhirnya aku hanya bisa berharap, tak banyak harapanku, barangkali besok atau lusa aku bisa bertemu dengan penghuni-penghuni ruangan itu. Seperti beberapa waktu yang lalu. Mudah-mudahan.
                                                                         Baiturridho, 16/05/2016
                                                                                     
»»  READMORE...