Senin, 04 Februari 2019
Butuh Nyali
Senin, 30 Juli 2018
Memilih Berani
Lewat tengah malam, dan aku belum lagi terlelap. Beberapa hal yg kupikirkan hingga rasa kantuk tak kunjung datang. Selain itu, istirahat siangku rasanya juga mempengaruhi aktifitas tidurku malam ini.
Menjalani hidup, memang perlu keberanian, bagi seorang manusia, jika ia tak ingin hanya menjadi tambahan isi dunia, ia perlu keberanian untuk melewati episode hidupnya. Tentang sifat berani, akupun sedang melatihnya. Bukankah orang berani itu juga memiliki rasa takut? Aku meyakini, pasti rasa takut itu ada pada diri seorang yg dikatakan pemberani, meski dalam porsi yg sedikit.
Seorang nenek tua yang sedang memungut sampah, ia adalah pemberani.
Seorang kakek yang kelelahan mencari kayu bakar, ia adalah pemberani.
Seorang anak kecil yang membantu bibinya jualan jajan, ia adalah pemberani.
Seorang nelayan muda yang pergi melaut di malam hari, ia adalah pemberani.
Seorang yang tak bisa melihat, belajar membaca huruf Braille, ia adalah seorang pemberani.
Seorang tuli yang berusaha berusaha mendengarkan ceramah rohani, ia adalah pemberani.
Seorang ibu rumahtangga yang berjualan es lilin, ia adalh seorang pemberani.
Kita tak pernah tau masa depan hidup kita, kaya atau miskin, sengsara atau berjaya, bergelimang harta atau kekurangan harta, tak pernah kita tahu. Yang persis aku tahu hanyalah mengusahakan itu semua, agar berjalan sesuai harapan positif, seperti halnya manusia pada umumnya. Namun, diriku tak berusaha mengkalkulasi sedemikian detail (terlebih perkara materi)untuk setiap langkah perjalanan hidupku. Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik bermodalkan keberanian yang aku miliki. Aku teringat kata Einstein, pakar fisika yang masyhur itu, bahwa tak semua yang bisa di hitung dapat diperhitungkan, dan tidak semua yg bisa diperhitungkan dapat dihitung. Semuanya berada dalam ketidakpastian. Maka dari itulah, diperlukan keberanian, keberanian hidup dengan sepenuh-penuhnya tanggung jawab. Apa arti hidup jika tak memiliki keberanian, kata Pram, seseorang yang tidak memiliki keberanian sama saja dengan hewan, yg fungsinya hanya beternak diri, ahh..teguranmu terlalu keras, Bung. Aku memilih berani menjalani hidup ini. Pemberani adalah seorang penakut yang memberanikan diri, itulah yg dinamakn pemberani. Siapa yang tahu masa datang? Hanya Tuhan lah, manusia tidak. Aku memilih berani.
Segala puji bagi-Mu, Alloh.
Minggu, 29 Juli 2018
Cinta Tak Perlu Syarat
Hubungan yang berlandaskan materi, tak mungkin bertahan lama. Hanya cinta yang dapat mempersatukan semua. Tak sedikit keluarga, persahabatan, dll, yg hancur karena lenyapnya cinta. Pengalaman tlah mengajarkanku banyak hal, ini adalah satu diantaranya. Selalu perbaruilah cintamu. Jangan memberi syarat pada cinta (harus kaya, harus tampan, harus sempurna...dan harus2 yang lain). Pada saat syarat itu ada, itu bukan cinta namanya, namun kalkulasi, kata Tejo.
CKG 28 Juli 2018
Saat rest time 13:00
Rabu, 27 Juni 2018
Tak Menyalurkan Hak Suara
Hari ini aku tak bisa menyalurkan hak suaraku, karena aku sedang tidak di rumah Madiun. Libur kali ini ku isi dengan jalan-jalan ke arah kota. Rutinitas harian di kantor menyebabkan pikiran cukup jenuh, tiap kali ada libur aku selalu mengisinya dengan berjalan ke suatu tempat baru. Kali ini aku sempatkan singgah di Masjid Istiqlal. Seperti biasa, aku menyimpan sandalku, kemudian mengambil air wudhu. Melanjutkan sholat dhuhur hingga selesai. Ada kuliah keagamaan ba'da dhuhur sempat kuikuti sebentar. Isinya mengenai lancarnya aliran rizki, salah satunya adalah karena ridho orangtua, selain itu meninggalkan dosa juga berpengaruh terhadap rizki, begitu yg dapat kutangkap dari kuliah itu.
Sesaat setelah itu perhatianku sedikit tertarik pada sosok orangtua berkacamata. Ia sedang duduk membaca Al-Qur'an, langgam jawanya begitu kental. Lama ia membacanya. Aku mendekat sekira 5 meter untuk mendengarkan dan menikmati bacaannya. Untuk ukuran standar umum memang suaranya tak merdu, namun bagiku, suara itu begitu ikhlas, tulus, dan alami. Aku menikmatinya. Seharusnya aku sendiri yg membaca Al-Qur'an itu, kemudian menikmatinya. Mungkin karna kemalasanku, aku hanya membaca Alfatihah hingga selesai. Kemudian menikmati bacaan Bapak tua itu. Hingga selesai tulisan ini, beliau masih membaca ayat suci itu.
Terimakasih Bapak tua.
Catatan 27 Juni @Istiqlal
Kamis, 21 Juni 2018
Berangkat kembali
Siang ini adalah perjalananku menuju Jakarta, kembali kepada rutinitas, kerja. Nuansa lebaran sudah sedikit berkurang karena sudah masuk hari ke tujuh. Jika aku di desa, biasanya ada 'lebaran kupat' (lebaran ketupat). Di tiap rumah ada digantung ketupat didepan rumahnya. Makna filosofinya ada, hanya aku kurang begitu mengerti.
Lama sudah aku tak merasakan lebaran kupat di desa, entahlah, terakhir kali aku mengikuti mungkin saat aku masih SMA. Atau satu tahun setelahnya, aku lupa. Kini semua telah berbeda, atau cuma perasaanku saja yang merasa demikian....biarkanlah...